Konservasi Tanah dan Air
Rabu, 06 Agustus 2014
11.
Pengertian
Konservasi Tanah dan Air
a.
Pengertian
konservasi Tanah
Tanah
merupakan media tumbuh tanaman yang sangat dipengaruhi sifat fisik dan kimia
tanah. Menurut Simmonson (1957), tanah adalah permukaan lahan yang kontiniu
menutupi kerak bumi kecuali di tempat-tempat berlereng terjal, puncak-puncak
pegunungan, daerah salju abadi. Sedangkan menurut Soil Survey Staff (1973),
tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat berubah atau
dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan organik yang
sesuai bagi perkembangan akar tanaman.
Menurut Sitanala Arsyad (1989),
konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan
yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan
syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Konservasi tanah dalam arti luas
adalah penempatan tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah
tersebar dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar
tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan
sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah
yang rusak oleh erosi. Upaya konservasi tanah bertujuan untuk :
1. Mencegah erosi.
2. Memperbaiki tanah yang rusak.
3. Memelihara serta meningkatkan
produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan.
b.
Pengertian
Konservasi Air
Penghematan air
atau konservasi air adalah
perilaku yang disengaja dengan tujuan mengurangi penggunaan air segar, melalui
metode teknologi atau perilaku sosial. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan
yang jauh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran
agar tidak terjadi banjir yang dapat merusak serta tersedianya air pada musim
kemarau.
Usaha konservasi air bertujuan untuk:
1) Untuk
menjamin ketersediaan untuk generasi masa depan, pengurangan air segar dari
sebuah ekosistem tidak akan melewati nilai penggantian alamiahnya.
2) Penghematan
energi - Pemompaan air, pengiriman, dan fasilitas pengolahan air limbah
mengonsumsi energi besar.
3) Konservasi
habitat - Penggunaan air oleh manusia yang diminimalisir untuk membantu
mengamankan simpanan sumber air bersih untuk habitat liar lokal dan penerimaan
migrasi aliran air, termasuk usaha-usaha baru pembangunan waduk dan
infrastruktur berbasis air lain (pemeliharaan yang lama).
22.
Macam-macam
matode konservasi Tanah dan Air
a.
Metode
Konservasi Tanah
Metode
konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metode
vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode kimia.
·
Metode
vegetatif adalah penggunaan tanaman atau bagian-bagian
tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi daya tumbuk butir hujan yang jatuh,
mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan yang pada akhirnya mengurangi
erosi tanah (Arsyad, 2006).
Beberapa
teknik konservasi tanah dan air melalui
cara vegetatif seperti pertanaman lorong (alley cropping), silvipastura,
dan pemberian mulsa.
1. Pertanaman lorong (alley
cropping) adalah sistem bercocok tanam dan
konservasi tanah dimana barisan tanaman perdu leguminosa ditanam rapat (jarak
10-25 cm) menurut garis kontur (nyabuk gunung) sebagai tanaman pagar dan
tanaman semusim ditanam pada lorong di antara tanaman pagar. Menerapkan
pertanaman lorong pada lahan miring biayanya jauh lebih murah dibandingkan
membuat teras bangku, tapi efektif menahan erosi. Setelah 3-4 tahun sejak
tanaman pagar tumbuh akan terbentuk teras. Terbentukannya teras secara alami
dan berangsur sehingga sering disebut teras kredit.
2. Sistem silvipastura
sebenarnya bentuk lain dari tumpangsari, tetapi yang ditanam di sela-sela
tanaman hutan bukan tanaman pangan melainkan tanaman pakan ternak, seperti
rumput gajah, setaria, dll. Ada beberapa bentuk silvipastura yang dikenal di Indonesia
antara lain (a) tanaman pakan di hutan tanaman industri, (b) tanaman pakan di
hutan sekunder, (c) tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman penghasil pakan dan
(d) tanaman pakan sebagai pagar hidup.
3. Pemberian
mulsa dimaksudkan untuk menutupi
permukaan tanah agar terhindar dari pukulan butir hujan. Mulsa merupakan teknik
pencegahan erosi yang cukup efektif. Jika bahan mulsa berasal dari bahan
organik, maka mulsa juga berfungsi dalam pemeliharaan bahan organik tanah.
Bahan organik yang dapat dijadikan mulsa dapat berasal dari sisa tanaman, hasil
pangkasan tanaman pagar dari sistem pertanaman lorong, hasil pangkasan tanaman
penutup tanah atau didatangkan dari luar lahan pertanian.
·
Metode
mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan
terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan
erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam
konservasi tanah dan air adalah pengolahan tanah, guludan, teras, penghambat (check dam), waduk, rorak,
perbaikan drainase dan irigasi (Arsyad, 2006).
·
Metode
Kimia atau cara kimia dalam usahan pencegahan erosi,yaitu
dengan pemanfaatan soil conditiner atau bahan pamtap tanah dalam hal
memperbaiki struktur tanah sehingga tanah akan tetap resisten terhadap erosi.
Bahan kimia memiliki pengaruh yang besar terhadap stabilitas tanah karena
senyawa tersebuttahan terhadap mikrobia tanah permeabilitas tanah dipertinggi
dan erosi berkurang.
b.
Metode
Konservasi Air
Metode pengendalian tata air yang umum
digunakan yaitu irigasi dan drainase. Irigasi merupakan usaha untuk menambah
air ke dalam wilayah, sedangkan drainase sebaliknya. Drainase berarti keadaan
dan cara air-lebih keluar dari tanah. Air-lebih adalah bagian dari air yang ada
di dalam tanah yang tidak dapat dipegang atau ditahan oleh butir-butir tanah
dan memenuhi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi jenuh air (Pahan, 2008).
Drainase
pada tanah gambut secara alami selalu berada dalam kondisi sangat terhambat
hingga tergenang. Hal ini memerlukan penanganan yang tepat sehingga drainase
dapat diperbaiki untuk mencapai muka air tanah yang optimum tanpa mengakibatkan
drainase yang berlebihan (over drainage). Drainase yang berlebihan akan
mengakibatkan kekeringan pada tanah gambut yang bersifat tidak dapat balik (irreversible)
dan penurunan muka tanah yang serius. Keberadaan mineral pirit pada tanah
gambut sehingga tetap tereduksi juga harus diperhatikan.
Untuk
mencapai kondisi ini, diperlukan jaringan drainase dan pintu-pintu air yang cukup
(PPKS, 2006). Pembangunan sistem drainase di perkebunan terutama ditujukan
untuk mengendalikan kelembaban tanah sehingga kadar airnya stabil antara 20-25%
dengan kedalaman arus air maksimum 60 cm. Pembangunan drainase juga diusahakan
terhindar dari kejenuhan air secara terus-menerus selama maksimum 2 minggu
(Pahan, 2008).
Irigasi
bertujuan untuk memberikan tambahan air terhadap air hujan dan memberikan air
kepada tanaman dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang diperlukan. Air
irigasi mempunyai kegunaan lain, yaitu (1) mempermudah pengolahan tanah, (2)
mengatur suhu tanah dan iklim mikro, (3) mencuci tanah dari kadar garam atau
asam yang terlalu tinggi, (4) menggenangi tanah untuk memberantas gulma serta
hama penyakit. Pada perkebunan kelapa sawit, pemberian air irigasi biasanya
dilakukan dengan cara pemberian air dalam selokan atau saluran (furrows
irrigation) (PPKS, 2006).
3. Contoh
Konsevasi tanah dan Air
Saya
mengambil contoh konservasi tanah dan air yang dilakukan oleh para petani di Jalan
Pomahan, Sleman,yogyakarta yang mana ini merupakan daerah sekitar tempat
tinggal saya. Konservasi tanah dan air oleh para petani ini menggunakan metode vegetatif
dan metode mekanik. Pengelolahannya bisa dilihat pada gambar.
(2) pemberian mulsa |
(3) Seseorang petani menanam tanaman pangan di pinggir. |
3. Permasalahan Konservasi Tanah dan Air
1) Faktor Alami Penyebab Erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah, terutama tiga faktor berikut:
1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun intensitasnya,
2) lereng yang curam,
3) tanah yang peka erosi, terutama terkait dengan genesa tanah.
Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar
23,1% luas wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm,
sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki
curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan
merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal
yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping
curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3%
dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai
bergunung. Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha,
kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara
umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas
dari lahan datar (< 3%).
Erosi merupakan peristiwa hilangnya atau
terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat oleh air
atau angin. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan
baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk
menyerap dan menahan air. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi
terjadi berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah seperti
kehilangan unsur hara dan bahan organic, dan mengikatnya kepadatan serta
ketahanan penetrasi tanah, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah serta
kemampuan tanah menahan air. Akibat dari peristiwa ini adalah menurunnya
produktivitas tanah, dan berkurangnya pengisian air bawah tanah.
Tentunya akibat perubahan sifat fisik dan kimia tanah akibat erosi maka
terjadi pula kemerosotan produktivitas tanaman.
Tanah yang tererosi terangkut aliran
permukaan yang akan diendapkan di tempat- tempat yang alirannya melambat
atau berhenti di dalam berbagai badan air seperti sungai, saluran
irigasi, waduk, danau atau muara sungai. Endapan tersebut menyebabkan
pendangkalan pada badan sungai dan akan mengakibatkan semakin sering
terjadi banjir dan semakin dalam banjir yang terjadi. Berkurangnya
infiltrasi air ke dalam tanah menyebabkan berkurangnya pengisian kembali
air bawah tanah yang berakibat tidak ada air masuk ke sungai pada musim
kemarau. Dengan demikian peristiwa banjir di musim hujan dan kekeringan
di musim kemarau merupakan peristiwa lanjutan yang tidak terpisahkan
dari peristiwa erosi. Selain itu peristiwa tercucinya unsur hara yang
menyebabkan eutrofikasi menjadi salah satu penyebab lain dari proses
erosi.
2) Praktek Pertanian yang Kurang Bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan
pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada
lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang
seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara
keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha
(Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh
pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada
umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah
dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahan lahan
berlereng curam.
Laju erosi tanah meningkat dengan
berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik
konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak
dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun,
penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan
belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.
3) Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi
Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat
menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya pengendalian degradasi
tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai dan efektif,
baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan tantangan
yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih
ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara
makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan
agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi
pembangunan pertanian di masa mendatang. Selain kurangnya dukungan
kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat penerapan
konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan,
fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi
mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.
Konversi lahan pertanian sering disebabkan
oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka menjual lahan walaupun
mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004).
Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama
terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain
itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan
dan lahan dengan alasan mudah dan murah.
4. Degradasi Tanah Di Indonesia
Kerusakan tanah didefenisikan sebagai
proses atau fenomena penurunan kapasitas tanah dalam mendukung
kehidupan. Arsyad (2000) menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah
hilangnya atau menurunnya fungsi tanah, baik fungsinya sebagai sumber
unsur hara tumbuhan maupun maupun fungsinya sebagai matrik tempat akar
tumbuhan berjangkar dan tempat air tersimpan. Kerusakan tanah terjadi
akibat:
1) Hilangnya unsur hara dan bahan organic di daerah perakaran.
2) terakumulasinya garam di daerah perakaran (salinisasi), terakumulasinya unsur beracun bagi tanaman
3) penjenuhan tanah oleh air (water logging)
4) erosi.
Degradasi tanah di Indonesia yang paling
dominan adalah erosi. Proses ini telah berlangsung lama dan
mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian. Jenis degradasi yang
lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan
dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan
pertanian ke non pertanian.
Kerusakan sumber air terjadi berupa
hilangnya atau mengeringnya mata air berhubungan erat dengan peristiwa
erosi. Menurunnya kualitas air dapat disebabkan oleh kandungan sedimen
dan unsur yang terbawa masuk oleh air yang bersumber dari erosi, tercuci
oleh air hujan dari lahan-laha pertanian, atau bahan dan senyawa dari
limbah industry atau limbah pertanian. Peristiwa ini disebut dengan
polusi air.